nanacchi: (Default)
[personal profile] nanacchi

((This fanfic contains toudanxf!saniwa moments))

As usual, I have too much ideas in my head... Another Tourabu story, with my saniwa OC Nana Nanami. This time I'll use Indonesian since I'm not really in mood to make it in English...

All things here, like how the citadel is protected by saniwa's magic, is my headcanon. Also, I used all toudan in the available list, despite me doesn't have them yet in-game (such as Jiji and others)

Forgive me for OOC-ness or things like that, especially Ichinii who has a very very polite speaking pattern...

Enough with the author note-- Please enjoy!

=====

"39, 3 derajat..." seorang gadis tengah menatap benda digital pengukur suhu di hadapannya. Angka yang tertera sama sekali tidak membuatnya senang. Terkena demam di saat seperti ini... Yang benar saja...

Saniwa tersebut menghela nafas. Dia berpikir ulang mengenai agenda hari ini. Dua tim akan ia kirim untuk ekspedisi, satu tim patroli, sementara satu tim lainnya akan pergi menjemput Hakata Toushiro, yang kabarnya ada di lantau 50 bawah tanah kastil Osaka.

Omong-omong Hakata... Nana menjadi teringat wajah penuh semangat seorang Ichigo Hitofuri ketika dirinya berkata hari ini ia akan mengirim tim 'penyelamat' Hakata. Tidak mungkin kan sekarang ia bilang kalau dirinya demam? Mengingat sifat pria bertutur kata santun itu, Nana yakin Ichigo tidak akan pergi dengan tenang meninggalkan saniwanya yang sakit, dan gadis itu tidak mau hal tersebut terjadi.

"Kuatkan dirimu, Nana Nanami... Setidaknya jangan sampai Ichigo-san sadar kalau kau sakit..." Ucapnya pada dirinya sendiri sambil menepuk kedua pipinya. Remaja berambut coklat itu pun menarik futonnya dan berusaha berdiri, meski dengan sukses terjatuh kembali karena lemas.

Nampaknya hari ini akan menjadi hari yang sangat panjang...

=====

"Baiklah aruji-sama, kami mohon pamit pergi dahulu. Adik-adik sekalian, tolong jaga citadel dan aruji-sama. Aruji-sama, bolehkah--" Ichigo terdiam sejenak, melihat sang aruji yang nampaknya tidak fokus. "Aruji-sama..?"

"Eh....? ....A-ah! Ya tentu saja, kami akan mengurus citadel selama kalian pergi! Tidak usah khawatir." Nana memaksakan diri untuk tersenyum. "Ichigo-san, Jiroutachi-san, Kashuu-san, Yagen-san... Hati-hati di jalan ya..."

"Bila aruji-sama berkata demikian..." Entah kenapa dalam hatinya Ichigo merasa ada yang tidak beres dengan keadaan pemilik barunya tersebut. Meski begitu juga ia tidak tahu pasti apa yang salah, sehingga dikesampingkanlah prasangka tersebut, yang ia pikir hanya merupakan kecemasan belaka karena meninggalkan saniwa dan para adiknya sendiri. "Kami undur diri pergi dahulu, aruji-sama."

Dengan senyuman pria dengan roh pedang Ichigo Hitofuri tersebut pun pergi bersama dengan tim yang telah disusun oleh sang saniwa. Tak lama kemudian, tiga kelompok lainnya pun meninggalkan citadel satu persatu.

"Ehh sudah waktunya? Biarkan aku minum sebotol lagi-!"

"Aku pergi dulu ya~"

"Saya pergi dulu. Kira-kira apa ya oleh-oleh yang bagus?"

Dengan perginya hampir sebagian besar penghuninya, citadel kini menjadi sangat sunyi. Hanya sekitar sepuluh orang yang tetap tinggal, termasuk saniwa Nana sendiri. Mereka yang tetap tinggal pun kembali masuk ke dalam citadel, antara mengerjakan tugas rumah atau ingin kembali beristirahat. Namun saniwa mereka tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Midare yang melihatnya mendekati pemilik mereka kini.

"Mereka semua sudah pergi ya~ Hei aruji, kita masuk yuk!" Midare dengan riang mengajak Nana kembali ke dalam, menggenggam tangannya. Sedetik setelah ia melakukannya, laki-laki berpenampilan perempuan itu menarik kembali tangannya dengan cepat. Wajahnya menampilkan kecemasan. "Aruji, kau demam!"

"Eh? A-aku baik-baik sa..."

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, sang miko terkapar pingsan. Teriakan Midare memanggil saniwanya menarik perhatian toudan lain, yang langsung berlari mendekat saat melihat apa yang terjadi.

"ARUJI!"

=====

"Hee? Jadi ini citadelnya... Cukup luas juga..."

"Haha, tentu saja! Isinya hampir 50 orang sih."

"Namazuo, Hakata, pelankan suara kalian. Hari sudah malam." Ichigo Hitofuri menempelkan telunjuknya di bibir, menyuruh adik-adiknya untuk tidak mengeluarkan suara keras. Yang dimarahi hanya cengengesan, namun tetap menuruti perintah kakak mereka. Semua tergelak, kecuali Honebami yang terdiam menatap pintu masuk citadel.

"Honebami? Ada apa?" Tanya Ichigo yang menyadari perilaku Honebami. Yang lain ikut menghentikan canda tawa mereka, penasaran dengan obrolan keduanya.

"Ah... Itu.. Aku hanya berpikir citadel sunyi sekali hari ini..." Jika dipikir lagi, memang benar perkataan pedang wakizashi tersebut. Sesepi apapun citadel, biasanya ada saja keributan yang menghidupkan markas mereka. Selain itu keganjilan lainnya adalah saniwa yang tidak menyambut kedatangan mereka. Biasanya entah bagaimana saniwa wanita pemilik mereka tahu kapan mereka kembali, dan selalu menyambut dengan senyuman kedatangan para toudan-nya. Entah mengapa Ichigo memiliki perasaan tidak enak...

"Mungkin mereka semua sudah tidur?" Sahut Hakata. Hotaru menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Imanotsurugi membuka mulutnya.

"Sekarang kurang lebih baru pukul tujuh malam, dan biasanya kami baru tidur paling pagi sekitar jam sembilan. Jadi..."

Tanpa panjang lebar ketujuhnya serentak masuk dengan cepat, khawatir terjadi apa-apa. Ichigo masuk ke ruang tamu, dan mendapati adik-adiknya yang tinggal tertidur disana.

"Apaan sih, ternyata memang mereka tidur..." Cemooh Iwatooshi, yang meski berkata demikian sebenarnya sangat lega tidak ada masalah yang terjadi. Namazuo melangkahkan kakinya pada orang terdekat, yang mana adalah Gokotai.

"Gokotai, Gokotai..." Percuma... Sepertinya tantou berambut putih itu benar-benar kelelahan. Namazuo tahu saudaranya itu memang bertugas mengurus kuda hari ini, tapi apa memang tugas tersebut begitu berat ya?

"Loh, kalian sudah kembali? Selamat datang..." Semua perhatian kini tertuju ke asal suara yang menyapa mereka. Mikazuki Munechika muncul dengan wajah hangat, meski jelas-jelas wajahnya menunjukkan kelelahan.

"Jiji!" Imanotsurugi berlari memeluk Mikazuki, dengan Ichigo mengikuti mendekat. Dari wajahnya, jelas-jelas sang tachi yang lebih muda ingin menanyakan keadaan citadel, namun Imanotsurugi sudah mendahuluinya. "Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa semua tampak kelelahan?"

"Ah, itu... Sebenarnya... Aruji jatuh sakit..."

Sunyi senyap. Tentu saja berita itu mengagetkan kelompok yang baru saja tiba. Setelah dipikir lagi, sebenarnya sepanjang perjalanan memang sudah terasa kejanggalannya. Musuh yang seharusnya tidak mungkin masuk dalam radius beberapa ratus meter dari citadel, semua berkat pelindung yang diciptakan oleh saniwa.

"Ka-kalau begitu--! Apa citadel baik-baik saja selama kami pergi?" Lagi-lagi Imanotsurugi menyuarakan yang berkecamuk di pikiran toudan-toudan yang hadir.

"Bisa dibilang demikian... Saat kami sadar aruji demam, kami langsung mencari obat. Karena ternyata persediaannya habis, kuminta beberapa orang mencarikan tanaman obat..." Mikazuki diam sesaat, sebelum kembali melanjutkan ceritanya. "...Tapi ternyata daerah yang biasanya aman menjadi kurang aman. Untunglah tim patroli tiba pada waktu yang tepat..."

"...Jadi sekarang kelompok patroli kembali berkeliling...?" Honebami memperhatikan mereka yang tetap tinggal. Mikazuki mengangguk. Ditambah dengan Urashima dan Maeda-Hirano, tim Jiroutachi pergi untuk menjaga citadel, setidaknya sampai kekuatan saniwa kembali pulih.

Ichigo menggigit bibirnya. Kenapa dia tidak menyadari hal tersebut? Sudut matanya menangkap  balutan perban di lengan dan kaki baik Midare, Gokotai, maupun Akita. Adik-adiknya terluka dan saniwa Nana pun menderita. Andai saja dia sadar sedari awal... Jika ada lubang, ingin rasanya Ichigo masuk ke dalamnya...

Lamunan pria berambut biru muda itu buyar saat sebuah bantal duduk mendarat tepat di mukanya. Menyingkirkan benda tersebut, Ichigo menatap pelakunya dengan muka heran. Namazuo si pelempar memasang wajah tidak suka.

"Oi nii-san... Jangan menganggap ini semua salahmu! Tidak ada yang menyalahkan nii-san, dan aruji juga tidak akan menganggap ini tanggung jawab nii-san!" Namazuo Toushiro terengah-engah mengambil nafas setelah 'ledakan' emosinya. Ichigo tertegun, terdiam atas 'tamparan' yang dilontarkan padanya. Hakata, yang sedari tadi menutup mulutnya, kini ikut berbicara.

"Nii-san... Aku memang belum pernah bertemu aruji, tapi kurasa Namazuo benar. Dari cerita kalian, aku yakin aruji tidak mengatakannya justru karena dia tidak mau nii-san khawatir..."

"Hakata..." Ichigo menutup mata, menyerap dan mencerna perkataan Namazuo dan Hakata. Ya, jika mengingat sifat saniwanya, Ichigo tidak bisa menyangkal pasti wanita itu diam saja agar dirinya tidak khawatir. Dia tahu Ichigo sangat bersemangat untuk menjemput Hakata, jadi pasti saniwa Nana tidak akan mengeluh sedikit pun. Ichigo tersenyum. Dasar... Saniwanya memang terlalu baik...

"Terima kasih, Hakata, Namazuo..." Yang bersangkutan membalas senyuman tersebut. Ichigo berbalik badan, ingin segera bertemu saniwanya. "Aruji-sama ada di kamarnya kan, Mikazuki-dono?"

Anggukan Mikazuki menjadi sinyal bagi Ichigo yang langsung berlari ke kamar pemiliknya kini.

"Dasar... Harusnya dari awal dia langsung pergi saja melihat aruji.."

"Kau tidak apa-apa, Namazuo?"

"Uhhh... Kali ini saja aku akan biarkan mereka berdua..."

=====

Memasuki kamar yang hanya diberi penerangan lampu minyak kecil itu, Ichigo memperlambat langkahnya. Tadi dia bertemu dengan Tsurumaru yang berjaga di depan kamar saniwa. Pedang yang gemar mengagetkan satu itu dengan senang hati berganti tempat menjaga saniwa, dan langsung kembali ke kamarnya utuk beristirahat.

Ichigo duduk bersimpuh di samping saniwa Nana, memandangi perempuan berambut coklat yang kini terbaring tenang. Tanda-tanda demamnya masih terlihat jelas, namun menurut Tsurumaru, demamnya sudah tidak separah sebelumnya. Dengan cekatan tachi satu-satunya buatan Yoshimitsu itu mengganti kompresan Nana yang sudah mulai kering.

"Aruji-sama..." Tanpa ia sadari, pemilik nama Ichigo Hitofuri itu mengelus halus pipi saniwanya. Gerakan kecil dari Nana mengagetkannya, yang langsung menarik kembali tangannya. Tak lama kemudian, Nana membuka matanya. "A-aruji-sama..?! Maafkan saya sudah membangunkan aruji-sama!"

"Onii-chan...?" ...Eh? 'Onii-chan'? Ichigo menampilkan ekspresi heran. Apa tadi aruji-nya memanggil dirinya kakak? Aneh sekali... "Onii-chan kenapa? Kenapa memanggilku 'aruji-sama'? Panggil saja 'Nacchan' seperti biasa..."

Oh, ternyata saniwanya masih setengah sadar... Ichigo menghela nafas lega, mengira penyakit saniwanya semakin parah sampai mengganggu otaknya. Meski begitu, dirinya kembali terdiam. Apakah saniwanya baru saja menyuruh dirinya memanggil dengan nama aslinya? Ichigo merasa itu adalah hal yang sangat lancang. Tidak mungkin ia memanggil nonanya hanya dengan nama saja, sangat tidak sopan. Tapi...

"Ma-maafkan sa--aku, aru--....Na-Nacchan..." Dia melakukannya, Ichigo baru saja memanggil aruji dengan namanya. Dalam hati ia bersumpah akan meminta maaf setelah Nana kembali sadar.

"Onii-chan kenapa sih?" Nana tertawa kecil, masih belum sadar bahwa yang didepannya bukan kakaknya. "Ah? Nii-chan tidak kedinginan? Sini, masuk saja ke futon bersamaku... Sudah lama kita tidak tidur bareng, hehe.."

Alarm tanda bahaya berbunyi di kepala Ichigo Hitofuri. Tadi dia memang berpura-pura menjadi kakak saniwanya sekedar untuk menyenangkan saja. Namun sekarang situasinya sudah berbahaya. Masuk ke dalam futon bersama aruji? Bisa-bisa ia digantung oleh Namazuo besok... Pokoknya sekarang ia harus menyadarkan saniwanya dulu.

"...Nii-chan marah padaku...? Tidak mau bersamaku...?"

..........

..........

Entah bagaimana terjadinya, kini Ichigo sudah berada dalam futon yang sama dengan saniwanya. Dengan saniwa Nana dalam pelukannya, Ichigo tahu dia pasti akan mati jika para toudan lain tahu mengenai kejadian ini. Jantungnya berdebar kencang karena berbagai alasan. Pokoknya begitu ada kesempatan, ia harus segera kabur.

"....Nii-chan...?"

"Y-ya?! A-ada apa aru--Nacchan?" Semakin lama dirinya semakin tidak tenang. Ichigo dapat merasakan nafas saniwa melalui kulitnya. Bila tidak mati karena digantung Namazuo, ia yakin akan mati duluan karena jantungnya tidak kuat menghadapi cobaan ini.

"Maafkan aku... Demam disaat seperti ini... Aku bisanya hanya membuat orang susah saja..." Kesunyian kembali meliputi keduanya. Ternyata memang benar, saniwa-sama tidak akan menyalahkan orang lain. Malahan ia menyalahkan dirinya sendiri. Memang, dia terlalu baik... "Aku juga berbohong pada Ichigo-san kalau aku baik-baik saja... Habisnya... Ichigo-san terlihat sangat bersemangat untuk menjemput Hakata, aku tidak tega menunda kepergiannya... Apa menurut kakak dia akan narah bila tahu aku berbohong...?"

Untuk kesekian kalinya hari ini Ichigo tertegun, terdiam mendengar pertanyaan polos sang saniwa yang masih belum sadar dia ada dalam dekapan orang yang dimaksud. Mengkhawatirkan orang lain daripada dirinya sendiri. Benar-benar deh saniwa ini...

"Menurutku... dia tidak akan marah. Malah, mungkin dia justru merasa bersalah tidak bisa diandalkan..." Ya tentu saja ia berbicara mengenai perasaannya sendiri. Bagaimanapun juga yang dibicarakan adalah dia kan? "Saya-- Maksudku, Ichigo sendiri pasti ingin Nacchan lebih terbuka padanya. Ia ingin Nacchan lebih percaya padanya. Sekali-kali cobalah egois sedikit. Di atas segalanya, Ichigo ingin anda--dirimu selalu tersenyum. Bagaimanapun, kebahagiaan Nacchan adalah kebahagiaannya juga..."

Lagi-lagi keadaan sunyi senyap. Nana masih mencerna perkataan Ichigo, sementara si pemuda sendiri masih tidak percaya dia baru saja berkata seperti itu. Kalau dipikir lagi, bukankah itu sama saja dengan pernyataan cinta? Otaknya benar-benar sudah kacau karena semua ini. Ucapan Nana menariknya keluar lagi dari pikirannya.

"Jadi... Maksud nii-chan, tidak apa bila aku mengutarakan keadaanku sejujurnya lain kali...? Tapi.. apa benar Ichigo-san tidak akan marah...?" Ingin rasanya Ichigo tertawa mendengarnya. Memang ya, saniwa Nana ini terlalu memikirkan perasaan orang lain, bahkan toudan seperti dirinya sekalipun.

"Tentu saja... Nacchan jangan khawatir, dia pasti mengerti..." Refleks, Ichigo mengusap-usap kepala wanita dalam dekapannya. Saat menundukkan kepala untuk melihat wajah sang saniwa, Ichigo merasa jantungnya berhenti berdetak sedetik. Dengan nyuman penuh kelegaan, saniwa Nana nampak seperti malaikat.

Manis sekali...

Dalam diam ia ikut tersenyum. Dipererat pelukannya pada sang saniwa yang kini sudah kembali terlelap. Satu hari ini sungguh melelahkan baginya, bahkan sekarang pun sungguh membuatnya lelah secara psikologis. Mungkin karena itulah, perlahan-lahan ia ikut menutup mata.

Terlelap dalam kehangatan saniwanya yang diam-diam ia cintai...

FIN

=====

~EXTRA~

 

Kicauan burung dan sinar matahari yang menerobos masuk membangunkan Nana dari tidurnya. Dirinya masih ingin tidur, meski ia tahu ia harus bangun. Apalagi kehangatan yang ia rasakan semakin membuatnya enggan untuk keluar dari futon.

.....Eh...? Sebentar...? Sejak kapan bantalnya seperti ini...? Selain itu, kehangatan ini...

Membuka matanya, sang saniwa muda langsung dihadapkan dengan wajah tidur Ichigo Hitofuri. Ia ingin berteriak, namun suaranya tercekat di tenggorokan tak bisa keluar.

'Mengapa Ichigo-san memelukku?! Terlebih lagi tidur di futon yang sama?! A-apa yang sebenarnya terjadi?!' Pertanyaan demi pertanyaan silih berkecamuk dalam pikiran Nana. Larut dalam pikirannya sendiri, ia tidak sadar Ichigo sudah ikit membuka matanya.

"Selamat pagi, aruji-sama. Syukurlah anda sudah terlihat lebih sehat dari kemarin." Suara lembut itu mengagetkan Nana, yang kemudian membatu saat sadar bahwa pria bertutur kata sopan itu juga sudah terjaga. Selagi saniwanya masih melamun, Ichigo memanfaatkan kesempatan itu untuk melepaskan pelukannya dan berdiri keluar dari futon. Beberapa saat kemudian, saniwa Nana tersadar dari syoknya dan berniat bertanya apa yang terjadi. Namun mungkin karena masih tersisa syoknya, ia malahan bingung apa yang harus ia katakan. Menyadari hal tersebut, Ichigo mencoba untuk menjelaskan.

"Semalam saya mendatangi aruji-sama untuk melihat apakah aruji-sama baik-baik saja... dan... nampaknya aruji-sama salah mengira saya sebagai kakak dari aruji-sama." Satu detik, dua detik... Pada detik kesepuluh wajah Nana Nanami langsung berubah merah padam. Ingatan mengenai perbuatan memalukannya semalam melesat masuk satu persatu. Saking malunya, ia sama sekali tidak bisa bereaksi apapun. Ichigo pamit diri melihat reaksi saniwanya, berpikir bahwa ia perlu meninggalkan gadis tersebut untuk sekarang.

Setelah Ichigo menutup pintu kamarnya, Nana langsung mengambil bantal dan berteriak, dengan maksud berharap bantal tersebut meredam teriakannya.

Jika ada lubang, ia ingin masuk lubang itu dan tidak pernah keluar lagi.

Sementara itu di luar kamar...

"Oh Ichigo-san, ingin memeriksa keadaan aruji? .....Wajahmu merah sekali...."


This account has disabled anonymous posting.
If you don't have an account you can create one now.
HTML doesn't work in the subject.
More info about formatting

Profile

nanacchi: (Default)Nana || Niina

August 2016

S M T W T F S
 123456
78910111213
14151617181920
2122 2324252627
28293031   

Style Credit

Expand Cut Tags

No cut tags
Page generated Jul. 8th, 2025 02:12 am
Powered by Dreamwidth Studios